Sabtu, 28 Maret 2009

Pemadaman Listrik Tanggal 28 Maret 2009

Rencananya pada tanggal 28 Maret 2009 nanti akan dilakukan pemadaman listrik di Jakarta yang akan berlangsung pada jam 20:30 WIB sampai dengan 21:30. Ada yang mau ikutan?

Pemadaman lampu selama 1 jam ini merupakan salah satu gerakan Earth Hour yang dipelopori oleh WWF. Dengan mematikan lampu selama satu jam dipercaya akan membantu mendinginkan bumi yang telah bekerja setiap hari dan mengurangi pemanasan global.

Jakarta sering disebut sebagai “the city never sleeps”, tidak kalah dengan New York, karena Jakarta juga tetap ‘hidup’ di malam hari. Karena itu Jakarta terpilih sebagai salah satu Kota yang berpartisipasi ikut memadamkan listrik dalam rangka gerakan Earth Hour.

Terus terang saya agak meragukan rencana ini, karena apakah semua mau ikut membantu jalannya rencana ini? Walaupun banyak gedung-gedung besar yang berencana akan memadamkan listrik, bagaimana dengan pusat berbelanjaan dan tempat hiburan? Saya sedikit skeptis, apakah pada tanggal segitu akan banyak orang yang berpartisipasi dan memadamkan listrik?

Tentunya saya juga mengimbau warga Jakarta agar bersedia memadamkan listrik di rumahnya. Hal itu sangat membantu program Earth Hour.

Siapkan segala sesuatu sebelum mematikan listrik, misalnya menampung air, siapkan lampu cadangan, pasang lilin biar romantis, atau bernyanyi bersama di tengah kegelapan. Cobalah mematikan listrik untuk mendukung program Earth Hour ini. Ajakan ini terbuka untuk siapa saja dan di mana saja agar memadamkan listrik. Tidak hanya di Jakarta lho…

Berikanlah nafas untuk bumi, satu jam saja!

Hukum Pemilu Menurut Syariat Islam

Pemadaman Listrik Tanggal 28 Maret 2009

Rencananya pada tanggal 28 Maret 2009 nanti akan dilakukan pemadaman listrik di Jakarta yang akan berlangsung pada jam 20:30 WIB sampai dengan 21:30. Ada yang mau ikutan?

Pemadaman lampu selama 1 jam ini merupakan salah satu gerakan Earth Hour yang dipelopori oleh WWF. Dengan mematikan lampu selama satu jam dipercaya akan membantu mendinginkan bumi yang telah bekerja setiap hari dan mengurangi pemanasan global.

Jakarta sering disebut sebagai “the city never sleeps”, tidak kalah dengan New York, karena Jakarta juga tetap ‘hidup’ di malam hari. Karena itu Jakarta terpilih sebagai salah satu Kota yang berpartisipasi ikut memadamkan listrik dalam rangka gerakan Earth Hour.

Terus terang saya agak meragukan rencana ini, karena apakah semua mau ikut membantu jalannya rencana ini? Walaupun banyak gedung-gedung besar yang berencana akan memadamkan listrik, bagaimana dengan pusat berbelanjaan dan tempat hiburan? Saya sedikit skeptis, apakah pada tanggal segitu akan banyak orang yang berpartisipasi dan memadamkan listrik?

Tentunya saya juga mengimbau warga Jakarta agar bersedia memadamkan listrik di rumahnya. Hal itu sangat membantu program Earth Hour.

Siapkan segala sesuatu sebelum mematikan listrik, misalnya menampung air, siapkan lampu cadangan, pasang lilin biar romantis, atau bernyanyi bersama di tengah kegelapan. Cobalah mematikan listrik untuk mendukung program Earth Hour ini. Ajakan ini terbuka untuk siapa saja dan di mana saja agar memadamkan listrik. Tidak hanya di Jakarta lho…

Berikanlah nafas untuk bumi, satu jam saja!

Hukum Pemilu Menurut Syariat Islam

Pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk: 1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen; 2) Memilih penguasa.
1. Memilih wakil rakyat.
Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain: Pertama, hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda:
Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud)

Kedua, dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri.
Wakalah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai dengan syariah Islam.

Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.

Sebagaimana diketahui, paling tidak, ada 2 (dua) fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi UUD/UU. Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya kecuali dengan menggunakan syariah Allah SWT (Lihat, misalnya: QS Yusuf [12]: 40; QS an-Nisa [4]: 65; QS al-Ahzab [33]: 36). Oleh karena itu, setiap aktivitas pembuatan perundang-undangan yang tidak merujuk pada wahyu Allah (al-Quran dan as-Sunnah) merupakan aktivitas menyekutukan Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Pelakunya juga bisa terkategori kafir, fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47).

Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah ‘kedaulatan syariah’, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman:

Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf [12]: 40)

Karena itu, hukum wakalah dalam konteks membuat dan melegalisasikan UU yang tidak bersumber pada syariah, atau hukum Allah, jelas tidak boleh.

Kedua: fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen—berupa koreksi dan kritik terhadap pemerintah/para penguasa atau UU yang digodok dan dihasilkan oleh DPR—jelas hukumnya wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.

2. Memilih penguasa.

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara, dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syariah tersebut.

Adapun dalam sistem demokrasi, Pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Karena itu, status Pemilu Legislatif tidak sama dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif, status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yîn wa tanshîb (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah/boleh, melainkan wajib. Demikian juga sebaliknya.


Tinjauan Politik
Selain tinjauan dari segi syariah, Pemilu (khususnya dalam memilih para wakil rakyat) dan fenomena golput juga bisa ditinjau dari kacamata politik. Dalam hal ini, Jubir HTI, HM Ismail Yusanto, berpandangan: Pertama, UU Pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak, bukan kewajiban. Jadi, bagaimana mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mengambilnya. Lagipula, memilih untuk tidak memilih itu berarti juga memilih. Jadi, fatwa haram golput itu sendiri secara filosofis bermasalah.

Kedua, sekarang ini berkembang fenomena golput di mana-mana. Dalam Pilkada itu golput sampai 45%-47%. Ini angka yang sangat tinggi. Itu harus dipahami secara lebih mendalam. Jangan-jangan itu merupakan cerminan dari ketidakhirauan masyarakat karena mereka melihat bahwa proses politik (Pemilu) itu tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Ketiga, ketika orang tidak menggunakan pilihan politiknya tidak bisa dikatakan bahwa dia apolitik. Sebab, boleh jadi hal itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik; bahwa dia tidak mau terus-menerus terjerumus dalam sistem sekular yang terbukti bobrok ini.

Keempat, terkait dengan Hizbut Tahrir, Hizb memandang bahwa aktivitas politik itu tidak berarti mengharuskan Hizb ada di parlemen. Mengoreksi penguasa adalah bagian aktivitas politik. Mendidik umat dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam juga merupakan aktivitas politik. Selama ini, itulah di antara yang telah, sedang dan akan terus-menerus dilakukan oleh Hizb (Hizbut-tahrir.or.id, 27/1/2009).

Kamis, 05 Maret 2009

http://www.youtube.com/watch?v=Ye-F4K3p1vQ